- Oleh MC KAB LUMAJANG
- Rabu, 9 Juli 2025 | 17:18 WIB
:
Oleh MC KAB LUMAJANG, Selasa, 8 Juli 2025 | 15:13 WIB - Redaktur: Tri Antoro - 2K
Lumajang, InfoPublik — Saat embun pagi masih menggantung di pucuk daun kopi, suara gemericik aliran air pegunungan mengalun lembut di Desa Senduro, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang. Desa ini bukan hanya dikenal sebagai pintu gerbang menuju Gunung Semeru, tetapi juga sebagai surga kopi yang tersembunyi di jantung Jawa Timur.
Di lereng-lereng curam yang memeluk Semeru, tumbuh ribuan pohon kopi robusta dan arabika yang telah puluhan tahun menjadi sumber kehidupan masyarakat. Tanah vulkanik yang kaya mineral membuat kopi Senduro memiliki karakter rasa yang kuat, aroma tajam, serta aftertaste yang meninggalkan kesan mendalam di lidah para penikmatnya.
Lebih dari sekadar rasa, kopi Senduro menyimpan cerita ketekunan, warisan, dan harapan yang diracik bersama dalam setiap cangkir. Cerita itu hidup melalui tangan-tangan para petani yang memanen kopi secara tradisional, tanpa mesin, hanya mengandalkan kepekaan dan kearifan lokal.
Salah satunya adalah Rohman (47), Petani Kopi, mengatakan, komoditas itu bagian dari hidupnya. Setiap subuh, ia menyapa alam dan memastikan biji-biji kopi dipetik saat benar-benar matang.
"Kalau petik merah, rasanya beda. Wangi lebih kuat, pahitnya halus. Tapi ya itu, harganya sekarang agak turun," kata Rohman di Desa Senduro, Selasa (8/7/2025).
Saat ini, harga kopi robusta petik merah hanya sekitar Rp70.000 per kilogram, turun dari Rp85.000 musim lalu.
Sementara itu, robusta biasa yang tidak dipetik selektif dihargai sekitar Rp60.000. Harga ini tentu belum ideal, terutama bagi petani yang mengandalkan hasil panen untuk biaya sekolah anak dan kebutuhan sehari-hari.
Kepala Bidang Perkebunan Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Lumajang, Mamik Woroarjiati, mengakui adanya penurunan harga. Namun, menurutnya, kopi Senduro tetap memiliki posisi kuat di pasar berkat kualitas unggul, terutama arabika petik merah yang bisa menembus Rp90.000 per kilogram.
“Kopi yang dipetik merah sempurna punya rasa kompleks dan aroma yang menggugah. Itulah yang dihargai pasar,” ujarnya.
Tak banyak yang tahu bahwa aroma kopi yang dinikmati setiap pagi lahir dari proses panjang dan penuh kesabaran. Mulai dari memilah biji terbaik, menjemur secara alami, hingga menyangrai dengan cara tradisional. Proses melelahkan yang dijalani dengan penuh cinta.
Kini, tantangan petani bukan hanya cuaca dan harga, tetapi juga regenerasi. Banyak anak muda desa yang memilih pergi ke kota. Namun, sebagian mulai kembali, didorong tren kopi kekinian yang membuat profesi petani tak lagi dianggap kuno.
Sebagian petani muda di Senduro bahkan mulai memproduksi kopi bubuk kemasan, drip bag, hingga cold brew. Mereka memasarkan produk melalui media sosial, merambah pasar luar daerah, dan menjadikan kopi sebagai identitas kreatif anak muda desa.
Pemerintah desa dan komunitas pun melihat peluang ini. Mereka mulai mengembangkan konsep wisata edukasi kopi, mengajak wisatawan memetik kopi langsung di kebun, belajar proses roasting, hingga menyeduh kopi sambil menikmati pemandangan Gunung Semeru yang megah.
Senduro kini tak hanya menjual biji kopi, tetapi juga pengalaman. Pengalaman untuk mengenal alam, manusia, serta cerita di balik setiap teguk kopi. Semua disajikan dalam atmosfer hangat khas pedesaan.
(MC Kab. Lumajang/Ard/An-m)